Senin, 25 November 2013

Kasus Utilitarianisme Etika Bisnis

Kasus Utilitarianisme Etika Bisnis PT Dirgantara Indonesia
            Penerapan etika bisnis dalam suatu organisasi yang bertujuan memperoleh laba dengan cara menghimpun dana dari masyarakat merupakan isu yang sering dikaji secara mendalam. Secara teoretis penerapan etika merupakan suatu hal yang mudah dilakukan dan diterapkan.
            PT Dirgantara Indonesia (PT DI) merupakan perusahaan yang bergerak di industri pesawat terbang dan sahamnya dimiliki Negara. Tujuan awal pembentukan PT DI yang dulu bernama PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN) adalah untuk mengembangkan industry penerbangan di Indonesia dan mencukupi pasar penerbangan. Sejak pertama kali didirikan PT DI telah mengalami berbagai tantangan dan beberapa kali mengalami perubahan nama.
            Secara ringkas, timeline dari perjalanan permasalahan yang dihadapi PT DI dalam rentang tahun 1960 – 2007 dapat diuraikan sebagai berikut. Pada tanggal 1 Agustus 1960 Keputusan Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara No. 488, dibentuk Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP). Lembaga tersebut diresmikan pada 16 Desember 1961 bertugas menyiapkan pembangunan industri penerbangan. Baru pada tanggal 28 April 1976 PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio didirikan dengan Dr. B.J. Habibie sebagai direktur utama dan selanjutnya pada tanggal 23 Agustus 1976 Presiden Soeharto meresmikan industry pesawat terbang Nurtanio yang berkedudukan di Bandung.
            Dalam perkembangannya pada tanggal 11 Oktober 1985 PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Pada tahun yang sama perusahaan berhasil memperoleh lisensi untuk merakit pesawat terbang sipil dan militer dari perusahaan CASA Spanyol, MBB Jerman, dan perusahaan Aerospatiale Prancis.
            Pada 10 November 1994 Roll out CN250 di pabrik IPTN di Bandung. CN250 dapat mengangkut 5054 penumpang dan terbang dengan kecepatan high subsonic speed (300 330 knot) CN250 merupakan pesawat komuter pertama di dunia yang memakai sistem flybywire Produksi CN 250 dihentikan pada tahun 1997 dan belum pernah mendapat sertifikat laik terbang.
            Pada tanggal 20 April 1995 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan hasil pemeriksaan dan menyatakan telah terjadi penyimpangan di IPTN yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 372.276.845. Penyimpangan tersebut antara lain terjadi pada tender/pelelengan paket pekerjaan sipil di lingkungan IPTN yang diidentifikasi terjadi manipulasi.
            Di tahun 1996 pemerintah memberikan bantuan kepada PT IPTN sebesar Rp. 400 miliyar dengan menerbitkan Keppres No. 42 Tahun 1996. Dana tersebut diambilkan dari dana reboisasi yang kemudian bantuan dana tersebut ditetapkan sebagai penyertaan modal pemerintah, namun pada tanggal 15\ April 1996 salah satu karyawan dipecat secara tidak hormat dari IPTN, karena dituduh mengungkapkan kasus penyimpangan berupa manipulasi tender/pelelangan paket pekerjaan sipil di lingkungan IPTN.
            Pada tanggal 29 Oktober 1997 Terjadi demonstrasi dan pemogokan kerja karyawan pertama kali di PT IPTN. Karyawan berdemonstrasi menuntut keadilan dalam jenjang karier, selanjutnya pada tahun 1997 PT IPTN rugi Rp 233,137 miliar kemudian kerugian meningkat menjadi Rp 853,331 miliar pada 1998. Setahun kemudian kerugian turun menjadi Rp 75,043 miliar. Pada tahun 2001 perusahaan dapat membukukan laba Rp 7,149 miliar.
            Akibat keadaan tersebut pada tanggal 13 Mei 2002 Direktur Utama PT IPTN menyatakan perusahaan akan mengurangi jumlah karyawan yang semula 15 ribu orang menjadi 9.777 orang. Jumlah karyawan akan terus dikurangi paling banyak 7 ribu orang. Pada tanggal 24 Agustus 2001 PT.IPTN mengubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI) atau Indonesian Aerospace/IAe yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid.
            Pada tanggal 9 Agustus 2002 Menteri Negara BUMN melantik jajaran direksi Baru PT DI. Terjadi protes dari mantan direktur utama karena penggantian tersebut tidak melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan tanpa diketahui komisaris utama. Selanjutnya pada tanggal 28 April 2003 PT DI menyerahkan lisensi pembuatan sayap pesawat Airbus 380 kepada British Aerospace System (BAe). Penyerahan dilaksanakan di hanggar Fabrikasi PT DI, Bandung.
            Pada tanggal 12 Juli 2003 Direktur Utama PT DI mengeluarkan surat keputusan No. SKEP/0598/030.02/PTD/UT0000/07/03 tentang Program perumahan terhadap 9.670 orang karyawan terhitung sejak pukul 00.00 WIB (13 Juli 2003). Selanjutnya pada tanggal 4 September 2007 Keputusan pailit dijatuhkan pada PT DI, proses putusan ini dipicu oleh pemulangan karyawan pada 12 Juli 2003. Kronologi proses pailit sebagai berikut: 12 Juli 2003: Direksi PT DI memutuskan untuk merumahkan sebagian besar karyawan. Juli 2003: Menakertrans menerbitkan surat No 644.KP.02.33.2003 tentang proses perumahan karyawan tersebut. 29 Januari 2004: Permohonan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT DI dikabulkan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). 14 Juni 2005: Permohonan eksekusi (fiat eksekusi) mantan karyawan yang diPHK diterima Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. 29 Maret 2006: Terjadi kesepakatan antara PT DI dengan karyawan yang menyatakan bahwa PT DI akan membayar tunai kewajiban perusahaan terhadap karyawan sebesar Rp 40 miliar dan sisanya yang berupa hak pensiun karyawan sebesar Rp 200 miliar akan dilunasi dengan skema lain. 9 Juli 2007: Mantan karyawan menggugat pailit PT DI ke PN Jakarta Pusat karena kewajiban PT DI yang telah disepakati tidak pernah dipenuh PT DI. 4 September 2007: PN Jakarta Pusat menyatakan PT DI pailit dan wajib melunasi utang terhadap kreditor dan 3.500 mantan karyawannya.
            Pada tanggal 24 Oktober 2007 MA mengabulkan permohonan kasasi PT DI atas keputusan pailit PN Jakarta pusat sehingga PT DI dapat beroperasi kembali dengan normal. Meskipun demikian, Serikat PekerjaForum Komunikasi Karyawan (SPFKK) PT DI masih terus mengajukan tuntutan terhadap PT DI atas pesangon 3500 karyawannya.
            Dari tinjauan perjalanan kasus yang dihadapi oleh PT DI di atas dapat dilihat bahwa PT DI mengalami berbagai permasalahan yang terkait dengan isuisu etika bisnis. Artikel ini mencoba melakukan kajian telaah literatur mengenai konsep etika bisnis yang ideal dengan kasus yang terjadi di PT DI dalam kurun waktu 1960 – 2007. Tujuan dari kajian tersebut adalah untuk mengungkapkan isu etika dan fenomena penanggulangan terjadinya suatu masalah dalam suatu organisasi bisnis.

Kaji Kritis Kasus Utilitarianisme PT Dirgantara Indonesia
            Suatu konsep pengambilan keputusan dalam suatu dilema etis diperlukan suatu keberanian dan integritas yang tinggi. Permasalahan yang dihadapi PT Dirgantara Indonesia (PT DI) merupakan permasalahan klasik yang dihadapi setiap orang yang memasuki sistem perusahaan (pemerintahan) di Indonesia. Pada konsep pembentukan awal PT DI yang dahulu bernama PT Industri Perusahaan Terbang Nusantara (PT IPTN) cukup sederhana, yaitu mengembangkan teknologi kedirgantaraan guna memperkuat ketahanan nasional. Pada awal perjalanan PT DI menunjukkan kinerja (yang tampak dari luar) cukup baik. Pemolesan wajah PT DI ternyata tidak dapat bertahan lama, kebenaran mengenai kondisi nyata perusahaan mulai terungkap. Pada pembahasan berikut akan berfokus pada point penting pelanggaran etika dan dicoba untuk dianalisis berdasarkan konsep teori yang ada.
            Kejutan pertama yang diterima perusahaan adalah diungkapnya penyelewengan anggaran negara oleh BPK pada 20 April 1995. Sebagai akuntan negara, BPK telah berperan dengan baik dan memenuhi tanggung jawab dasar auditor yaitu memeriksa dan mengkomunikasikan temuan pada publik. Auditor telah bekerja dengan integritas dan moral motive yang tepat. Di sisi lain, pada kasus ini perusahaan melanggar norma dasar etika (bribery, deception, coercion, dan theft), karena perusahaan telah melakukan manipulasi tender dan pelelangan. Dalam proses manipulasi tersebut akan melibatkan “Transaksi dibalik layar”. Pelanggaran etika juga dilakukan akuntan perusahaan. Hal tersebut dapat dilihat dari manipulasi catatan yang mencoba untuk menyembunyikan fakta. Manipulasi juga melanggar konsep utilitarianism mengingat perusahaan merupakan perusahaan pemerintah yang bertanggungjawab pada rakyat.
            Kasus pelanggaran etika kedua terjadi ketika perusahaan memecat dengan tidak hormat Salah satu karyawan pada 15 April 1996, setahun setelah pengungkapan penyimpangan oleh BPK. Karyawan tersebut merupakan karyawan yang mengungkapkan manipulasi tender kepada BPK. Pada kasus ini perusahaan telah jelasjelas melakukan diskriminasi dan melanggar konsep deontology yang menganut kebenaran mutlak. Indikasi lain dari terjadinya diskriminasi adalah timbulnya demo karyawan pada 29 Oktober 1997 yang menuntut keadilan jenjang karir. Pada kasus pemecatan karyawan yang mengungkapkan penyimpangan di IPTN juga terjadi pembalikan dan manipulasi konsep kebenaran. Pada kasus tersebut tampak bahwa orang menjadi salah karena mengungkapkan suatu kebenaran.
            Kasus yang melibatkan pelanggaran konsep etika paling banyak adalah kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan secara besar besaran. Pada kasus ini perusahaan telah melanggar konsep utilitarianism karena telah mengutamakan kepentingan perusahaan dengan karyawan jauh lebih sedikit daripada jumlah karyawan yang di PHK. Kelanjutan pelanggaran ini diperparah dengan ketidakmauan perusahaan untuk membayar pesangon walaupun telah disepakati bersama melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P), kesepakatan tersebut selanjutnya dilanggar. Pada pelanggaran kesepakatan dan penolakan pembayaran pesangon tampak dengan jelas bahwa perusahaan melanggar hamper semua konsep hak dan kewajiban, dan keadilan. Dengan penolakan dan pelanggaran tersebut, konsep Distributive justice, keadilan berdasar kontribusi, keadilan berdasar kebutuhan dan kemampuan, Keadilan retributive, Compensatory justice telah dilanggar. Di samping itu konsep hak dan kewajiban terutama hak kontraktual telah dilanggar secara nyata. Pada hak kontraktual, hak seseorang harus dibayar sesuai dengan kontrak. Usaha PT DI untuk tidak membayar pesangon melalui pelanggaran kesepakatan P4P merupakan langkah nyata untuk menghindari dari kewajiban.
            Satu kasus unik yang terjadi pada kasus PT DI secara keseluruhan adalah kasus pembatalan putusan pailit melalui kasasi MA pada 24 Oktober 2007. Pada kasus ini argumen yang dibangun untuk pembatalan putusan pailit PN Jakarta pusat pada 9 September 2007 adalah kesalahan prosedur pengajuan pemailitan yaitu harus diajukan oleh pemegang saham mayoritas. Pada kasus ini terjadi kegagalan sinergi antara lembaga hukum. Meskipun tidak berhubungan secara langsung dengan teori etika, kasus ini menggambarkan bahwa suatu pemecahan kasus dilemma etis diperlukan suatu koordinasi dan sinergi yang baik dari semua pihak yang berkaitan.
            Secara keseluruhan, meskipun terdapat berbagai macam pelanggaran, jika dicermati lebih teliti pada kasus PT DI terdapat suatu moral motive yang baik. PT DI sebetulnya telah berusaha untuk memenuhi kewajiban pembayaran pesangon, hal tersebut dapat diindikasi dengan hanya sebagian dari seluruh karyawan yang tidak dibayar pesangonnya. Demo karyawan muncul karena belum dibayarkan pesangon sebagian karyawan bukan seluruh karyawan. Di samping itu, individu di dalam PT DI sebagian mempunyai moral motive yang baik. Dapat dilihat dari kasus pengunduran diri tiga direktur karena tidak setuju dengan putusan PHK karyawan.
            Dari fakta pelanggaran etika, kasus kasasi pembatalan pailit, dan moral motive yang terdapat dalam perusahaan dapat diajukan satu solusi alternatif. Solusi yang diajukan berupaya untuk mendudukkan kasus pelanggaran PT DI sebagai kasus yang universal dalam artian, solusi yang diajukan berusaha memandang masalah secara makro.
            Dari kasus dapat dilihat bahwa di dalam suatu organisasi yang melanggar etika separah apapun masih terdapat individu dengan moral motive yang baik. Moral motive tersebut merupakan modal dasar dalam menyelesaikan permasalahan dilemma etis. Pada kasus juga menunjukkan kegagalan sinergi antara lembaga pemerintah, perusahaan dan sistem hukum. Solusi alternatif yang diajukan yaitu dengan memperbaiki sinergi antara lembaga pemerintah, perusahaan dan sistem hokum dengan individu dengan moral motive yang baik sebagai stabilisator yang mempengaruhi sinergi tersebut. Secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 1.


            Pada Gambar 1 terlihat bahwa individu dengan moral motive yang baik dapat mempengaruhi sinergi yang dibentuk. Di sini, individu berperan sangat penting. Peran penting tersebut terjadi karena ketiga komponen sinergi terdiri dan digerakkan oleh individu. Sinergi yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh individu di dalamnya. Dengan moral motive yang baik dari individu akan menggerakkan sinergi ke arah sinergi yang etis.

Simpulan
            Konsep teori etika merupakan suatu konsep ideal yang dapat diterapkan dalam suatu organisasi bisnis. Penerapan konsep tersebut dalam organisasi bisnis sering mengalami hambatan dan tantangan. Suatu organisasi bisnis yang sedang mengalami dilema etis dalam mengambil keputusan harus mengambil keputusan dengan bijak. Keputusan yang diambil sering mengalami benturan antara kepentingan stake holder dengan konsep etika yang ada. Keputusan yang diambil, meski sulit, harus mampu mengakomodir semua kepentingan stake holder sekaligus memperhitungkan etika yang ada.
            Dari semua pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa suatu dilema etis akan selalu dihadapi dalam pengambilan keputusan. Solusi dari pengambilan keputusan yang etis terletak pada individu yang menggerakkan system yang ada. Individu merupakan pelaku utama dalam organisasi itu sendiri. Di sini, moral motive individu memegang peran penting dalam pengambilan keputusan. Moral motive yang dimiliki individu dapat menjadi motor dalam organisasi untuk mengambil keputusan etis. Kumpulan individu yang mempunyai moral motive dalam organisasi dapat mewarnai keputusan organisasi menjadi lebih etis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar