Kasus Utilitarianisme Etika Bisnis PT
Dirgantara Indonesia
Penerapan
etika bisnis dalam suatu organisasi yang bertujuan memperoleh laba dengan cara
menghimpun dana dari masyarakat merupakan isu yang sering dikaji secara
mendalam. Secara teoretis penerapan etika merupakan suatu hal yang mudah
dilakukan dan diterapkan.
PT
Dirgantara Indonesia (PT DI) merupakan perusahaan yang bergerak di industri
pesawat terbang dan sahamnya dimiliki Negara. Tujuan awal pembentukan PT DI
yang dulu bernama PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN) adalah untuk
mengembangkan industry penerbangan di Indonesia dan mencukupi pasar
penerbangan. Sejak pertama kali didirikan PT DI telah mengalami berbagai tantangan
dan beberapa kali mengalami perubahan nama.
Secara
ringkas, timeline dari perjalanan permasalahan yang dihadapi PT DI dalam rentang
tahun 1960 – 2007 dapat diuraikan sebagai berikut. Pada tanggal 1 Agustus 1960
Keputusan Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara No. 488, dibentuk Lembaga Persiapan
Industri Penerbangan (LAPIP). Lembaga tersebut diresmikan pada 16 Desember 1961
bertugas menyiapkan pembangunan industri penerbangan. Baru pada tanggal 28
April 1976 PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio didirikan dengan Dr. B.J.
Habibie sebagai direktur utama dan selanjutnya pada tanggal 23 Agustus 1976 Presiden
Soeharto meresmikan industry pesawat terbang Nurtanio yang berkedudukan di
Bandung.
Dalam
perkembangannya pada tanggal 11 Oktober 1985 PT Industri Pesawat Terbang
Nurtanio berubah menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Pada
tahun yang sama perusahaan berhasil memperoleh lisensi untuk merakit pesawat terbang
sipil dan militer dari perusahaan CASA Spanyol, MBB Jerman, dan perusahaan Aerospatiale
Prancis.
Pada
10 November 1994 Roll out CN‐250 di pabrik IPTN di Bandung. CN‐250 dapat mengangkut 50‐54 penumpang dan terbang dengan kecepatan high
subsonic speed (300‐ 330 knot) CN‐250 merupakan pesawat komuter pertama di dunia yang
memakai sistem fly‐by‐wire
Produksi CN 250 dihentikan pada tahun 1997 dan belum pernah mendapat sertifikat
laik terbang.
Pada
tanggal 20 April 1995 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan hasil
pemeriksaan dan menyatakan telah terjadi penyimpangan di IPTN yang mengakibatkan
kerugian negara sebesar Rp 372.276.845. Penyimpangan tersebut antara lain
terjadi pada tender/pelelengan paket pekerjaan sipil di lingkungan IPTN yang diidentifikasi
terjadi manipulasi.
Di
tahun 1996 pemerintah memberikan bantuan kepada PT IPTN sebesar Rp. 400 miliyar
dengan menerbitkan Keppres No. 42 Tahun 1996. Dana tersebut diambilkan dari dana
reboisasi yang kemudian bantuan dana tersebut ditetapkan sebagai penyertaan modal
pemerintah, namun pada tanggal 15\ April 1996 salah satu karyawan dipecat secara
tidak hormat dari IPTN, karena dituduh mengungkapkan kasus penyimpangan berupa
manipulasi tender/pelelangan paket pekerjaan sipil di lingkungan IPTN.
Pada
tanggal 29 Oktober 1997 Terjadi demonstrasi dan pemogokan kerja karyawan
pertama kali di PT IPTN. Karyawan berdemonstrasi menuntut keadilan dalam jenjang
karier, selanjutnya pada tahun 1997 PT IPTN rugi Rp 233,137 miliar kemudian kerugian
meningkat menjadi Rp 853,331 miliar pada 1998. Setahun kemudian kerugian turun
menjadi Rp 75,043 miliar. Pada tahun 2001 perusahaan dapat membukukan laba Rp
7,149 miliar.
Akibat
keadaan tersebut pada tanggal 13 Mei 2002 Direktur Utama PT IPTN menyatakan
perusahaan akan mengurangi jumlah karyawan yang semula 15 ribu orang menjadi
9.777 orang. Jumlah karyawan akan terus dikurangi paling banyak 7 ribu orang. Pada
tanggal 24 Agustus 2001 PT.IPTN mengubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia
(DI) atau Indonesian Aerospace/IAe yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid.
Pada
tanggal 9 Agustus 2002 Menteri Negara BUMN melantik jajaran direksi Baru PT DI.
Terjadi protes dari mantan direktur utama karena penggantian tersebut tidak melalui
mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan tanpa diketahui komisaris utama.
Selanjutnya pada tanggal 28 April 2003 PT DI menyerahkan lisensi pembuatan sayap
pesawat Airbus 380 kepada British Aerospace System (BAe). Penyerahan dilaksanakan
di hanggar Fabrikasi PT DI, Bandung.
Pada
tanggal 12 Juli 2003 Direktur Utama PT DI mengeluarkan surat keputusan No.
SKEP/0598/030.02/PTD/UT0000/07/03 tentang Program perumahan terhadap 9.670
orang karyawan terhitung sejak pukul 00.00 WIB (13 Juli 2003). Selanjutnya pada
tanggal 4 September 2007 Keputusan pailit dijatuhkan pada PT DI, proses putusan
ini dipicu oleh pemulangan karyawan pada 12 Juli 2003. Kronologi proses pailit
sebagai berikut: 12 Juli 2003: Direksi PT DI memutuskan untuk merumahkan
sebagian besar karyawan. Juli 2003: Menakertrans menerbitkan surat No
644.KP.02.33.2003 tentang proses perumahan karyawan tersebut. 29 Januari 2004:
Permohonan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT DI dikabulkan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). 14 Juni 2005: Permohonan eksekusi (fiat
eksekusi) mantan karyawan yang di‐PHK diterima Pengadilan Negeri
(PN) Jakarta Pusat. 29 Maret 2006: Terjadi kesepakatan antara PT DI dengan karyawan
yang menyatakan bahwa PT DI akan membayar tunai kewajiban perusahaan terhadap
karyawan sebesar Rp 40 miliar dan sisanya yang berupa hak pensiun karyawan
sebesar Rp 200 miliar akan dilunasi dengan skema lain. 9 Juli 2007: Mantan
karyawan menggugat pailit PT DI ke PN Jakarta Pusat karena kewajiban PT DI yang
telah disepakati tidak pernah dipenuh PT DI. 4 September 2007: PN Jakarta Pusat
menyatakan PT DI pailit dan wajib melunasi utang terhadap kreditor dan 3.500
mantan karyawannya.
Pada
tanggal 24 Oktober 2007 MA mengabulkan permohonan kasasi PT DI atas keputusan
pailit PN Jakarta pusat sehingga PT DI dapat beroperasi kembali dengan normal.
Meskipun demikian, Serikat Pekerja‐Forum
Komunikasi Karyawan (SPFKK) PT DI masih terus mengajukan tuntutan terhadap PT
DI atas pesangon 3500 karyawannya.
Dari
tinjauan perjalanan kasus yang dihadapi oleh PT DI di atas dapat dilihat bahwa
PT DI mengalami berbagai permasalahan yang terkait dengan isu‐isu etika bisnis. Artikel ini mencoba melakukan kajian
telaah literatur mengenai konsep etika bisnis yang ideal dengan kasus yang terjadi
di PT DI dalam kurun waktu 1960 – 2007. Tujuan dari kajian tersebut adalah untuk
mengungkapkan isu etika dan fenomena penanggulangan terjadinya suatu masalah
dalam suatu organisasi bisnis.
Kaji Kritis Kasus Utilitarianisme PT
Dirgantara Indonesia
Suatu
konsep pengambilan keputusan dalam suatu dilema etis diperlukan suatu keberanian
dan integritas yang tinggi. Permasalahan yang dihadapi PT Dirgantara Indonesia
(PT DI) merupakan permasalahan klasik yang dihadapi setiap orang yang memasuki
sistem perusahaan (pemerintahan) di Indonesia. Pada konsep pembentukan awal PT
DI yang dahulu bernama PT Industri Perusahaan Terbang Nusantara (PT IPTN) cukup
sederhana, yaitu mengembangkan teknologi kedirgantaraan guna memperkuat
ketahanan nasional. Pada awal perjalanan PT DI menunjukkan kinerja (yang tampak
dari luar) cukup baik. Pemolesan wajah PT DI ternyata tidak dapat bertahan
lama, kebenaran mengenai kondisi nyata perusahaan mulai terungkap. Pada pembahasan
berikut akan berfokus pada point penting pelanggaran etika dan dicoba untuk
dianalisis berdasarkan konsep teori yang ada.
Kejutan
pertama yang diterima perusahaan adalah diungkapnya penyelewengan anggaran
negara oleh BPK pada 20 April 1995. Sebagai akuntan negara, BPK telah berperan
dengan baik dan memenuhi tanggung jawab dasar auditor yaitu memeriksa dan
mengkomunikasikan temuan pada publik. Auditor telah bekerja dengan integritas
dan moral motive yang tepat. Di sisi lain, pada kasus ini perusahaan melanggar
norma dasar etika (bribery, deception,
coercion, dan theft), karena perusahaan
telah melakukan manipulasi tender dan pelelangan. Dalam proses manipulasi
tersebut akan melibatkan “Transaksi dibalik layar”. Pelanggaran etika juga
dilakukan akuntan perusahaan. Hal tersebut dapat dilihat dari manipulasi catatan
yang mencoba untuk menyembunyikan fakta. Manipulasi juga melanggar konsep utilitarianism mengingat perusahaan
merupakan perusahaan pemerintah yang bertanggungjawab pada rakyat.
Kasus
pelanggaran etika kedua terjadi ketika perusahaan memecat dengan tidak hormat
Salah satu karyawan pada 15 April 1996, setahun setelah pengungkapan penyimpangan
oleh BPK. Karyawan tersebut merupakan karyawan yang mengungkapkan manipulasi
tender kepada BPK. Pada kasus ini perusahaan telah jelas‐jelas melakukan diskriminasi dan melanggar konsep deontology
yang menganut kebenaran mutlak. Indikasi lain dari terjadinya diskriminasi
adalah timbulnya demo karyawan pada 29 Oktober 1997 yang menuntut keadilan
jenjang karir. Pada kasus pemecatan karyawan yang mengungkapkan penyimpangan di
IPTN juga terjadi pembalikan dan manipulasi konsep kebenaran. Pada kasus
tersebut tampak bahwa orang menjadi salah karena mengungkapkan suatu kebenaran.
Kasus
yang melibatkan pelanggaran konsep etika paling banyak adalah kasus Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) karyawan secara besar besaran. Pada kasus ini perusahaan
telah melanggar konsep utilitarianism karena telah mengutamakan kepentingan
perusahaan dengan karyawan jauh lebih sedikit daripada jumlah karyawan yang di
PHK. Kelanjutan pelanggaran ini diperparah dengan ketidakmauan perusahaan untuk
membayar pesangon walaupun telah disepakati bersama melalui Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P), kesepakatan tersebut
selanjutnya dilanggar. Pada pelanggaran kesepakatan dan penolakan pembayaran
pesangon tampak dengan jelas bahwa perusahaan melanggar hamper semua konsep hak
dan kewajiban, dan keadilan. Dengan penolakan dan pelanggaran tersebut, konsep Distributive justice, keadilan berdasar
kontribusi, keadilan berdasar kebutuhan dan kemampuan, Keadilan retributive, Compensatory justice telah dilanggar. Di
samping itu konsep hak dan kewajiban terutama hak kontraktual telah dilanggar secara
nyata. Pada hak kontraktual, hak seseorang harus dibayar sesuai dengan kontrak.
Usaha PT DI untuk tidak membayar pesangon melalui pelanggaran kesepakatan P4P
merupakan langkah nyata untuk menghindari dari kewajiban.
Satu
kasus unik yang terjadi pada kasus PT DI secara keseluruhan adalah kasus pembatalan
putusan pailit melalui kasasi MA pada 24 Oktober 2007. Pada kasus ini argumen
yang dibangun untuk pembatalan putusan pailit PN Jakarta pusat pada 9 September
2007 adalah kesalahan prosedur pengajuan pemailitan yaitu harus diajukan oleh
pemegang saham mayoritas. Pada kasus ini terjadi kegagalan sinergi antara lembaga
hukum. Meskipun tidak berhubungan secara langsung dengan teori etika, kasus ini
menggambarkan bahwa suatu pemecahan kasus dilemma etis diperlukan suatu
koordinasi dan sinergi yang baik dari semua pihak yang berkaitan.
Secara
keseluruhan, meskipun terdapat berbagai macam pelanggaran, jika dicermati lebih
teliti pada kasus PT DI terdapat suatu moral
motive yang baik. PT DI sebetulnya telah berusaha untuk memenuhi kewajiban pembayaran
pesangon, hal tersebut dapat diindikasi dengan hanya sebagian dari seluruh
karyawan yang tidak dibayar pesangonnya. Demo karyawan muncul karena belum
dibayarkan pesangon sebagian karyawan bukan seluruh karyawan. Di samping itu,
individu di dalam PT DI sebagian mempunyai moral
motive yang baik. Dapat dilihat dari kasus pengunduran diri tiga direktur
karena tidak setuju dengan putusan PHK karyawan.
Dari
fakta pelanggaran etika, kasus kasasi pembatalan pailit, dan moral motive yang terdapat dalam
perusahaan dapat diajukan satu solusi alternatif. Solusi yang diajukan berupaya
untuk mendudukkan kasus pelanggaran PT DI sebagai kasus yang universal dalam
artian, solusi yang diajukan berusaha memandang masalah secara makro.
Dari
kasus dapat dilihat bahwa di dalam suatu organisasi yang melanggar etika separah
apapun masih terdapat individu dengan moral motive yang baik. Moral motive tersebut
merupakan modal dasar dalam menyelesaikan permasalahan dilemma etis. Pada kasus
juga menunjukkan kegagalan sinergi antara lembaga pemerintah, perusahaan dan
sistem hukum. Solusi alternatif yang diajukan yaitu dengan memperbaiki sinergi
antara lembaga pemerintah, perusahaan dan sistem hokum dengan individu dengan moral
motive yang baik sebagai stabilisator yang mempengaruhi sinergi tersebut.
Secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 1.
Pada
Gambar 1 terlihat bahwa individu dengan moral motive yang baik dapat mempengaruhi
sinergi yang dibentuk. Di sini, individu berperan sangat penting. Peran penting
tersebut terjadi karena ketiga komponen sinergi terdiri dan digerakkan oleh
individu. Sinergi yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh individu di dalamnya. Dengan
moral motive yang baik dari individu akan
menggerakkan sinergi ke arah sinergi yang etis.
Simpulan
Konsep
teori etika merupakan suatu konsep ideal yang dapat diterapkan dalam suatu
organisasi bisnis. Penerapan konsep tersebut dalam organisasi bisnis sering mengalami
hambatan dan tantangan. Suatu organisasi bisnis yang sedang mengalami dilema
etis dalam mengambil keputusan harus mengambil keputusan dengan bijak. Keputusan
yang diambil sering mengalami benturan antara kepentingan stake holder dengan konsep etika yang ada. Keputusan yang diambil,
meski sulit, harus mampu mengakomodir semua kepentingan stake holder sekaligus
memperhitungkan etika yang ada.
Dari
semua pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa suatu dilema etis
akan selalu dihadapi dalam pengambilan keputusan. Solusi dari pengambilan
keputusan yang etis terletak pada individu yang menggerakkan system yang ada.
Individu merupakan pelaku utama dalam organisasi itu sendiri. Di sini, moral motive individu memegang peran
penting dalam pengambilan keputusan. Moral motive yang dimiliki individu dapat
menjadi motor dalam organisasi untuk
mengambil keputusan etis. Kumpulan
individu yang mempunyai moral motive dalam organisasi dapat mewarnai keputusan organisasi menjadi lebih etis.